Dari : Kiai Nyetrik Membela Pemerintah
Kiai Nyetrik Membela Pemerintah
Oleh Abdurrahman Wahid
Orangnya peramah tetapi lucu. Raut wajahnya sepenuhnya membayangkan ke-kiai-an yang sudah mengalami akulturasi dengan "dunia luar". Pandangan matanya penuh selidik, tetapi kewaspadaan itu dilembutkan oleh senyum yang khas.
Gaya hidupnya juga begitu. Walaupun sudah tinggal di kompleks universitas negeri, masih bernafaskan moralitas keagamaan. Gaya bicaranya juga ada dua macam. Di hadapan "orang luar" ia sedikit berbicara dan lebih banyak "meladeni". Tetapi di tengah "rakyatnya" sendiri, ia memakai gaya pengajian seratus persen.
ltulah Kiai Muchit (yang ejaannya belum disesuaikan EYD) yang mampu berbicara tentang real politik lokal dengan bupati di wilayahnya ketika ia menjadi wakil ketua DPRD, tetapi yang dengan santainya membuka pengajian umum dengan humor.
Apakah tipe kiai begini yangjadi citra "ulama - intelek" yang begitu didambakan orang-orang Departemen Agama, kita tidak tahu persis. Bagaimanapun juga, kredibilitasnya untuk itu cukup kuat: ia kiai populer berilmu agama mendalam, sekaligus ia jadi dosen universitas (walaupun hanya untuk mata kuliah agama).
Setidak-tidaknya ia tipe yang lebih realistis, dan lebih memikat hati, daripada sejumlah sarjana dari disiplin non-agama, tetapi yang mengajarkan agama, dengan kegalakan dan militansi yang terasa menakutkan — wakil dari tipe "intelek-ulama".
Menghadapkan jenis silang "ulama-inteiek" dan "intelek-ulama" memang kerja mengasyikkan. Di satu segi, jenis pertama banyak dimodali keakraban hubungan bermacam-macam lapisan masyarakat, karena kelonggaran pendekatan yang dilakukannya. Jenis kedua justru lebih sering didorong oleh semangat menyala untuk membuktikan kebenaran agama melalui argumentasi dan dalil-dalil ilmiah, yang sudah tentu sering menghasilkan polemik dengan "orang luar".
Pada segi lain, jenis "ulama-intelek" menekankan pesan mereka pada ajakan perbaikan akhlak pribadi. Sedangkan jenis "intelek-ulama" lebih senang menawarkan tema besar—misalnya superioritas peradaban Islam, dsb.
Keberanian Moral Kedua pendekatan yang tampak saling berbalik punggung itu sepenuhnya tergantung kepada keberanian moral untuk mempertahankan pendirian dan keyakinan.
Pada jenis "intelek-ulama" hal itu tampak jelas, bahwa ada sarjana disiplin non-agama berbicara soal-soal keagamaan,jelas dibutuhkan keberanian moral untuk itu sejak semula. Paling tidak di hadapan yang tadinya bingung, melihat adanya insinyur fisika inti yang bersusah payah menghafalkan AI-Qur'an, ada profesor seni rupa sibuk dengan konsep-konsep dasar kemasyarakatan Islam, dan ada dokter yang giat bertabligh (sudah tentu dihadapkan ejekan tentang prakteknya yang mungkin tidak laku).
Yang lebih sulit adalah mengetahui keberanian moral apa yang dibutuhkan untuk menjadi "ulama-intelek".
Sejak semula jenis ini telah membatasi diri jadi pengikut yang mencoba berpikir secara disiplin non-agama, tetapi tidak pernah mengajukan klaim jadi pelopor dalam disiplin yang bersangkutan. Tidak perlu ada keberanian moral dari sudut penglihatan ini. Bahkan rakyat awam yang menjadi pemujanya sudah kagum sekali, dengan sekedar satu dua contoh dari dunia disiplin non-agama yang mereka paparkan dalam pengajian. Tetapi keberanian moral yang harus mereka miliki justru terletak pada pergaulan masyarakat, untuk menyatakan benar apa yang benar dan menyalahkan apa yang salah.
Ini banyak mengandung resiko, karena sering membuat mereka berhadapan tidak saja dengan "orang luar", tetapi lebih-lebih dengan kelompok dari mana mereka berasal dan dimana mereka memimpin. Contohnya Kiai Muchit ini. Di masa menghebatnya aksi sepihak PKI dilancarkan, ia harus ribut dengan kiai-kiai lain yang menentang UUAP dan UUPBH. Para kiai itu memakai argumentasi bahwa tidak ada pembatasan hak milik pribadi dalam mazhab Syafi'i.
Tetapi Kiai Muchit menyelamatkan diri secara politis dengan pertanyaan: walaupun tidak ada pembatasan seperti itu, bukankah ada larangan memperoleh hak milik secara tidak halal? Dapatkah sampeyan membuktikan bahwa petani kaya yang mempunyai 50 hektar tanah memperoleh dengan halal? Bukannya perampasan si kaya atas si miskin melalui gadaian sawah yang kedaluwarsa? Atau sebagai sitaan atas barang jaminan yang jadi milik semengga-mengganya dari petani miskin?
Waktu itu ia didamprat kanan-kiri, sampai-sampai mendapat predikat yang dalam istilah sekarang sama dengan "nyentrik".
Kasus Jenggawah
Kini kiai nyentrik ini juga didamprat kanan-kiri karena sikap moralnya, lagi-lagi dari kalangan umatnya sendiri.
Dalam kasus tanah Jenggawah, yang kebetulan terjadi di wilayah domisilinya sekarang, ia menyimpang dari pola agitasi demagogik yang dilancarkan parpolnya (bersama parpol lain) untuk "memperjuangkan kepentingan petani" melawan PT Perkebunan yang bersangkutan di sana.
la tahu persis, bahwa agitasi itu tidak tepat dan tidak mengenai sasarannya, karena yang benar memang adalah pihak PTP la tahu juga bahwa bukan tanpa pamrih PTP melakukan her-kaveling tanah garapan di Jenggawah, yang memang secara formal masih milik negara. Tetapi ia sama sekali tidak berubah pendiriannya di hadapan kemarahan umat itu.
Soal utamanya adalah tanah garapan yang telah terbagi-bagi secara tidak adil dalam waktu sekian lama di antara para penggarap sekarang ini. Ada yang punya 20 hektar, tetapi kebanyakan hanya punya seperempat hektar saja. Tadinya memang sama luas tanah garapan masing-masing, tetapi nasib telah membawa kepada transfer penguasaan tanah.
Sudah tentu benar upaya meratakan kembali besarnya tanah garapan masing-masing, kalau dilihat dari pandangan agama, menurut kiai nyentrik kita yang satu ini. Persoalan utama ini harus dilepas dari ekses-ekses tindakan para oknum FTP, yang harus diselesaikan pada waktunya nanti.
Sikap ini memang tidak populer. la terkena tuduhan "membela pemerintah", sebuah dosa asal yang sulit diampuni dalam pemikiran kepartaian yang belum matang di negeri ini. Apalagi dipandang sementara pemimpin lokal yang langsung atau tidak langsung dibiayai oleh para petani yang memiliki tanah garapan 20 hektar!
la langsung dikucilkan dari solidaritas umat saat ini, karena sikap moral keagamaannya yang seperti itu (atau justru karena sikap intelektualitasnya?) Nah, siapa bilang ulama intelek tidak harus memiliki keberanian moral?
Terima kasih anda telah membaca Kiai Nyetrik Membela Pemerintah
Sekian artikel ini Kiai Nyetrik Membela Pemerintah, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua.
0 komentar:
Posting Komentar